Menilik Makna Yang Benar Dari “Laa Ilaaha Illallah”
Dengan Kaidah Bahasa Arab [1]
Sebagaimana masyhur di kalangan masyarakat muslim
Indonesia, bahwa kalimat tauhid laa ilaaha illallah (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ)
diartikan dengan “tiada Tuhan selain Allah”. Namun, benarkah terjemahan kalimat
tauhid tersebut?
Pembaca yang semoga Allah Ta’ala merahmati
Anda, tentunya kita tahu bahwa kalimat tauhid tersebut adalah kalimat dalam
bahasa Arab. Ketahuilah, pemahaman yang benar tentang kalimat laa ilaaha
illallah tergantung pada benarnya pemahaman kita terhadap asal kalimat ini
yaitu dari sisi bahasa Arab. Oleh karena itu, jika kita ingin mengetahui
terjemahan dan makna yang benar dari kalimat tersebut, mau tidak mau kita harus
menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Mari kita lihat bagaimanakah terjemahan dan makna yang
benar dari kalimat laa ilaaha illallah. I’rob kata laa ilaaha
illallah yaitu:
لاَ: لاَ
النَّافِيَةُ لِلْجِنْسِ تَعْمَلُ عَمَلَ إنَّ وَهِيَ تَنْصِبُ الإِسْمَ
وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ
Laa: laa
naafiyah liljinsi (menafikan semua jenis) beramalan inna yaitu memanshubkan
isimnya dan memarfu’kan khobarnya.
إِلهَ: اِسْمَ
لاَ مَبْنِيٌّ عَلَى الْفَتْحِ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ
Ilaah: isim laa
yang mabni (tetap) atas fathah, menempati kedudukan nashob.[2]
Asal kata “ilaah” adalah dari kata alaha (أَلَهَ)
yang bersinonim dengan kata ‘abada (عَبَدَ) yang artinya menyembah/beribadah, wazannya
fa’ala-yaf’alu (فَعَلَ – يَفْعَلُ) sehingga tashrif isthilahinya
menjadi alaha-ya’lahu-ilaahan (أَلَهَ –
يَعْلَهُ – إِلاهًا). “Ilaah”
adalah isim mashdar, yaitu kata yang menunjukkan atas suatu makna yang
tidak terikat oleh waktu, dan mashdar adalah asal dari fi’il
(kata kerja) dan asal dari semua isim musytaq (kata jadian).[3] Isim
mashdar terkadang dapat bermakna fa’il (subjek/yang melakukan suatu
perbuatan) dan dapat bermakna maf’ul bih (objek/yang dikenai suatu
perbuatan). Berikut ini contoh suatu mashdar yang dapat bermakna fa’il
dan dapat bermakna maf’ul bih, diambil dari hadits riwayat Muslim
tentang larangan berbuat bid’ah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ عَمِلَ
عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa roddun“.
Kata “roddun” (رَدٌّ) adalah mashdar. Terdapat beberapa
penjelasan ulama tentang apakah makna “roddun” di sini. Sebagian ulama
menjelaskan bahwasanya mashdar “roddun” di sini bermakna fa’il,
yaitu “rooddun” (رَادٌّ) yang artinya “orang yang menolak”. Sehingga makna hadits
menjadi “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada
tuntunannya dari kami maka dia adalah orang yang menolak.” Maksudnya
adalah menolak syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan
ulama yang lain memaknai “roddun” dengan makna maf’ul bih, yaitu
“marduudun” (مَرْدُوْدٌ) yang artinya “sesuatu yang ditolak”. Sehingga makna hadits
menjadi “Barangsiapa siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada
tuntunannya dari kami maka amal itu ditolak.” Maksudnya adalah
amalan tersebut tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena
tidak memenuhi syarat diterimanya amal [4].
Kemudian kembali ke “ilaah“, apakah “ilaah”
dalam kalimat tauhid bermakna fa’il atau maf’ul bih?
Kata “ilaah” di sini ada yang mengartikannya
sebagai mashdar bermakna fa’il, dan ini adalah makna yang
keliru yang didukung dengan bukti-bukti yang sangat banyak yang membantah
kekeliruan makna tersebut. Ada yang memaknai “ilaah” dengan makna maf’ul
bih, dan inilah makna yang benar. Mengapa demikian? Mari kita lihat
makna “ilaah” sebagai fail dan sebagai maf’ul bih,
sehingga kita tahu makna yang benar.
Yang memaknai “ilaah” dengan makna fa’il mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan “laa ilaaha illallah” adalah “laa khooliqo illallah”
(لَا خَالِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pencipta selain Allah” atau “laa robba
illallah” (لَا رَبَّ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pengatur alam semesta
selain Allah” atau “laa rooziqo illallah” (لَا
رَازِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu
“tidak ada pemberi rizki selain Allah” dan makna-makna yang lain yang merupakan
makna rububiyyah[5]. Ini adalah makna yang sangat bathil, karena kalau “ilaah”
di sini dimaknai sebagai fa’il maka makna seperti ini telah diyakini dan
disetujui oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kaum musyrikin Arab meyakini bahwa yang menciptakan,
yang memberi rizki, dan yang mengatur urusan alam semesta dan sisi-sisi rububiyyah
yang lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak ayat Al Qur’an yang
menunjukkan bahwa orang-orang musyrikin Arab itu beriman kepada rububiyyah
Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya:
وَلَئِن
سَأَلْتَهُم مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan sungguh jika engkau tanyakan kepada mereka,
“Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab,
“Allah”…” (QS. Luqman:25)
قُلْ مَن
يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ
وَمَنيُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ
وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَاللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
“Katakanlah, “Siapakah yang memberi rizki kepadamu
dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala
urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu
tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
Akan tetapi pengakuan tersebut tidaklah memasukkan
mereka ke dalam agama Islam. Buktinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tetap memerangi mereka, menghalalkan harta dan darah mereka.
Sehingga kalau “ilaah” ini dimaknai dengan fa’il maka
konsekuensinya kaum musyrikin Arab adalah orang-orang muslim. Namun, tidaklah
demikian. Mengapa? Karena mereka hanya beriman kepada sifat-sifat rububiyyah
saja, tetapi mereka menyekutukan Allah dalam beribadah.
Oleh karena itu makna yang benar untuk “ilaah”
adalah mashdar bermakna maf’ul bih, “ilaah” bermakna “ma’luuh”
(مَأْلُوْهٌ)
atau sinonimnya yaitu “ma’buud” (مَعْبُوْدٌ) yang artinya adalah “sesuatu yang
disembah/diibadahi”. Sehingga makna “laa ilaaha” adalah “laa ma’buuda“.
Tadi disebutkan bahwa laa beramalan memanshubkan
isimnya dan memarfu’kan khobarnya. Lantas, di mana khobar
dari laa?
وَخَبَرُ لاَ
مَحْذُوْفٌ تَقْدِيْرُهُ حَقٌ أَوْ بِحَقٍّ
Khobar laa dibuang (mahdzuuf),
dan takdirnya adalah “haqqun” atau “bihaqqin“.
Mengapa khobar laa dibuang? Suatu kata boleh
dibuang jika makna kalimat sudah dapat diketahui meskipun ada kata yang dibuang
dari kalimat tersebut. Saya ambilkan contoh dalam bahasa Indonesia agar lebih
mudah dimengerti. Misalkan ada orang yang bertanya, “Siapa Nabimu?” maka
jawabannya adalah “Muhammad”. Di sini tentu sudah diketahui maksud dari jawaban
yang sangat ringkas tersebut, yang hanya terdiri dari satu kata “Muhammad”
saja, yang mana kalimat lengkapnya yaitu “Nabi saya adalah Muhammad.” Meskipun
ringkas tetapi kita dapat menangkap maksud dari kalimat tersebut. Suatu kalimat
yang ringkas tetapi dapat dipahami maknanya tentu lebih efisien daripada
kalimat yang panjang. Nah, demikian juga dalam bahasa Arab. Maka khobar laa
pada kalimat tauhid dibuang karena orang-orang Arab pada zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sudah dapat memahami maknanya, karena mereka adalah
orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh karena itu pulalah orang-orang
musyrik Arab zaman dulu tidak mau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah
meskipun mereka mengakui bahwa Allah adalah robb mereka, karena mereka
paham akan makna dan konsekuensi dari kalimat tauhid tersebut.
Sebagian orang mentakdirkan bahwa khobar laa
yang dibuang itu takdirnya adalah “maujuudun” (مَوْجُوْدٌ) yang artinya “ada”, sehingga mereka
memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “laa ilaaha maujuudun illallahu”
(لَا إِلهَ مَوْجُوْدٌ إِلَّا اللهُ) artinya “tidak ada sesembahan yang ada
kecuali Allah”. Jika demikian maka ada beberapa konsekuensi yang fatal, di
antaranya adalah:
- Kalau khobar laa yang dibuang ditakdirkan dengan “maujuudun”
maka hal ini tidaklah sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Karena
realita menunjukkan bahwasanya selain Allah masih banyak sesembahan yang
lain. Ada orang yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah
orang shalih, malaikat, patung, dewa, dan sebagainya.
- Kalau dimaknai dengan “laa ilaaha maujuudun illallah” maka
konsekuensinya semua sesembahan yang ada di dunia ini pada hakikatnya
adalah Allah. Contoh: karena patung berhala adalah sesembahan kaum
musyrikin Arab dulu maka patung berhala adalah Allah, karena Yesus adalah
sesembahan kaum Nasrani maka Yesus adalah Allah, karena ‘Uzair adalah
sesembahan Yahudi maka ‘Uzair adalah Allah, karena dewa-dewa adalah
sesembahan orang Hindu maka dewa-dewa adalah Allah. Tentunya tidak
demikian bukan?
Oleh karena itu, yang benar adalah mentakdirkan khobar
laa yang dibuang dengan “haqqun” atau “bihaqqin“. Sehingga
kalimat tauhid yang lengkap sebenarnya adalah
لَا إِلهَ حَقٌّ
إِلَّا اللهُ
laa ilaaha haqqun illallahu
dan maknanya yang benar yaitu
لَا مَعْبُوْدَ
حَقٌّ إِلَّا اللهُ
laa ma’buuda haqqun illallahu
atau
لَا مَعْبُوْدَ
بِحَقٍّ إِلَّا اللهُ
laa ma’buuda bihaqqin illallahu.
Maknanya adalah “tidak ada sesembahan yang haq
selain Allah” atau “tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”.
Hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah dengan benar. Hanya
kepada Allah-lah kita menujukan semua amal ibadah kita, bukan kepada
selain-Nya.
إِلاَّ: أَدَاة
الإِسْتِثْنَاءِ
Illa: alat istitsna
(untuk mengecualikan).
لَفْظُ
الْجَلاَلَةِ “اللهُ” : بَدَلٌ مِنْ خَبَرِ لاَ
Lafadz jalalah “Allah” sebagai badal (pengganti) dari khobar
laa yang dibuang. Karena sebagai badal, maka i’rob lafadz jalalah
“Allah” adalah sesuai dengan mubdal minhu (yang digantikan)nya yaitu
khobar laa. Ingat, khobar laa mempunyai i’rob marfu’,
maka badalnya yakni lafadz jalalah “Allah” juga ikut marfu’,
yang mana lafadz jalalah “Allah” ini adalah isim mufrod (kata
tunggal) yang marfu’ dengan tanda dhommah sehingga berbunyi
“Allahu”.
Antara badal dengan mubdal minhu
bendanya adalah sama. Maka khobar laa yaitu “haqqun” digantikan
dengan “Allah” menunjukkan bahwa yang haq itu ialah Allah, Allah
itulah yang haq.
ذَلِكَ بِأَنَّ
اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنََّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنََّ
اللَّهَ هُوَالْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang
haq, dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah bathil. Dan sesungguhnya
Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Luqman: 30)
Demikianlah, semoga apa yang kami sampaikan dapat
membantu kita dalam memahami kalimat tauhid yang sangat agung ini. Betapa suatu
kenikmatan yang sangat besar jika kita dapat memahami makna kalimat laa
ilaaha illallah dan mengamalkannya, sehingga berbuah surga-Nya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ
وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang mati dalam keadaan dia mengilmui
bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, maka
dia akan masuk surga.”[6]
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush sholihat.
Wal ‘ilmu ‘indallaah
Selesai disusun di wisma ceRIa, 12 April 2010 pukul
3:13 a.m.
Yang selalu membutuhkan ampunan dari Rabb-nya
[1] Kami mendapatkan faidah yang agung ini dari Ust.
M. Saifuddin Hakim hafizhohullah pada saat pelajaran baca kitab “Minhaj
Al-Firqotu An-Najiyah wa Ath-Thoifatu Al-Manshuroh” Ma’had al-’Ilmi
Akhowat.
[2] Karena “ilaah” adalah isim nakiroh
mufrod dan bukan mudhof atau syibhul mudhof, maka hukumnya
sebagai isim laa adalah mabni atas tanda nashobnya, yaitu fathah.
[3] Lihat Mulakhkhosh Qowa’idu Al-Lughoti
Al-’Arobiyyati (1/30-31)
[4] Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan ittiba’
(mengikuti tata cara yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam). Adapun pada hadits ini, amalan tersebut ditolak karena tidak
sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penjelasan lebih lengkap bisa dilihat di Syarah Hadits Arba’in. Wallahu
a’lam.
[5] Yang berkaitan dengan perbuatan Allah seperti
mencipta, mengatur alam semesta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dll.
[6] HR. Muslim (26), Ahmad (464), An Nasa’I dalam “Al
Kubra” (109252), Al Bazzar (4150, dan Ibnu Hibban (201).
Sumber: http://pengenkemadinah.wordpress.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !